Tidak Bergunanya Penerapan Instrumen Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional Terhadap Konflik Israel-Palestina

Globalisasi adalah salah satu faktor pendorong adanya hubungan antar negara. Keinginan mengembangkan diri dan kodrat manusia yang ditakdirkan tidak bisa hidup sendiri, menjadikan negara-negara merasa perlu untuk menjalin hubungan. Kerjasama atau hubungan negara satu dengan negara yang lain tidak selalu berjalan mulus tanpa masalah. Seringkali timbul gesekan-gesekan kepentingan dari masing-masing negara yang mengadakan hubungan tersebut. Contoh sederhana dan paling banyak terjadi adalah konflik wilayah antar negara. Padahal, antar negara itu pada dasarnya telah berhubungan baik dalam waktu yang tidak sebentar. Namun, kepentingan setiap negara yang berbeda dan pengaruh atau intervensi dunia internasional pun turut menyumbang bibit-bibit pertikaian (konflik).

Konflik antar negara yang bertikai diselesaikan melalui penyelesaian sengketa. Sengketa sama maksudnya dengan pertikaian. Pertikaian (konflik) atau sengketa, keduanya adalah yang digunakan secara bergantian dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrills (1991: 1) memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau objek yang diikuti klaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak lain.

Dalam praktik internasional dikenal 2 (dua) macam cara penyelesaian sengketa (Mirza Satria Buana, 2007: 87), yaitu: dengan menggunakan jalur politik (political dispute settlement) atau dengan menggunakan jalur yudisial/hukum (judicial dispute settlement). Jalur politik salah satu contohnya adalah melalui mediasi, sedangkan jika jalur yudisial/hukum contohnya yaitu melalui Pengadilan internasional (ICJ/International Court of Justice).

Dewasa ini, pertentangan antar negara adalah hasil dari persaingan yang semakin tajam dan tidak sehat antar negara. Tidak jarang mengakibatkan munculnya konflik berkepanjangan antar negara. Contoh: Konflik antara Israel dengan Palestina.

Penyelesaian Melalui Jalur Politik yang Tak Berbuah Manis

Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina merupakan sebuah konflik berkepanjangan di Timur Tengah yang telah berlangsung hampir selama satu abad lamanya. Penyebab konflik tersebut antara lain menyangkut soal wilayah, kekuasaan, perbedaan keyakinan (agama) dan keturunan (Musthafa Abd Rahman, 2002: 5). Selama konflik, telah terjadi kekerasan dengan berbagai tingkat intensitasnya di Palestina. Pemerintah Israel melalui cara yang terorganisir dan sistematis telah mengusir warga Palestina dari wilayahnya sendiri.

Akibat Konflik Tiada Akhir

Konflik yang telah berlangsung beberapa dekade tersebut sampai sekarang belum menunjukkan titik terang penyelesaian final bagi kedua belah pihak. Upaya-upaya penyelesaian sengketa secara damai melalui jalur politik terus diusahakan oleh berbagai pihak. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga turut turun tangan untuk berusaha menyelesaikan konflik Israel-Palestina.

PBB melalui Dewan Keamanan (DK) sudah beberapa kali mengeluarkan Resolusi untuk meminimalisir konflik di negara yang bertikai tersebut, tetapi Israel tidak pernah mematuhinya. Selain itu, PBB yang ikut dalam Tim Quartet bersama dengan AS, Rusia, dan Uni Eropa pada tanggal 30 April 2003 mengeluarkan rencana perdamaian Israel dan Palestina yang dikenal dengan Peace Road Map (Peta Jalan Perdamaian/PJP), namun rencana perdamaian ini pun tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan (Gatot Abdullah Masyur, 2005). Macetnya proses perdamaian PJP membuat prihatin berbagai kalangan.

Kita bisa melihat bahwa sistem penyelesaian sengketa internasional melalui jalur politik yang dilancarkan oleh segelintir pihak maupun PBB, tidak ada gunanya bagi Israel dan Palestina. Keegoisan Israel selalu saja menyebabkan proses penyelesaian konflik menjadi gagal.

Penyelesaian Jalur Hukum yang Sia-sia Belaka

Dalam prinsip hukum internasional, jika cara penyelesaian politik (negosiasi, mediasi, atau konsiliasi) sudah tidak mampu mengakhiri pertikaian, maka perlu ditempuh cara berikutnya yaitu melalui sistem penyelesaian hukum. Pada kasus Israel-Palestina, kita telah melihat kenyataan bahwa cara penyelesaian melalui negosiasi antara masing-masing pihak maupun secara mediasi dan konsiliasi dengan bantuan PBB, berakhir buntu.

Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mengakhiri konflik antara Israel dengan Palestina adalah dengan mekanisme penyelesaian hukum, yaitu melalui Pengadilan Internasional (ICJ). Pengadilan Internasional atau International Court of Justice (ICJ) merupakan organ bentukan PBB yang bertugas mengadili sengketa antar negara di bidang hukum internasional, seperti sengketa wilayah, kekuasaan (pemberontakan), dan persoalan internasional lainnya. Namun, sesungguhnya penyelesaian jalur hukum seperti ini juga nantinya akan berakhir dengan sia-sia. Mengapa?

Para pihak yang beracara di ICJ haruslah negara. Oleh karena itu, sebuah kasus tidak bisa dijadikan objek bagi Pengadilan apabila salah satu pihak bukan negara. Hal ini sesuai dengan Statuta/Anggaran Dasar dari ICJ, Pasal 34 ayat (1) yang berbunyi: “Only states may be parties in cases before the Court.” Bahkan PBB sendiri sebagai sebuah organisasi internasional yang dapat meminta advisory opinion tidak bisa menjadi salah satu pihak dalam kasus di hadapan ICJ (Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar, 2008: 244). Sebuah negara untuk menjadi salah satu pihak haruslah terlebih dahulu memiliki kriteria Pasal 93 Piagam PBB.

Namun, yang perlu dicatat disini adalah Palestina sampai saat ini belum diakui seutuhnya sebagai sebuah negara. Palestina masih dicap hanya sebagai sebuah PLO (Palestine Liberation Organization) atau Organisasi Pembebasan Palestina dengan seorang pemimpinnya. Merunut sejarah, PLO inilah yang terus berjuang agar dibentuk negara Palestina sehingga dunia mengakuinya. Hasil dari perjuangan PLO tercapai ketika pada bulan November 2008 memproklamirkan berdirinya negara Palestina, namun secara de facto maupun de jure, negara-negara lain di dunia ternyata tidak pernah mengakui Palestina sebagai sebuah negara. Mungkin hanya segelintir negara—termasuk Indonesia—yang mengakui negara Palestina, tetapi bagaimanapun juga PBB tetap tidak mengakui keberadaan negara Palestina. Presiden “negara” Palestina, Mahmoud Abbas pun berjuang meminta agar Uni Eropa—yang masih belum mengakui eksistensi negara Palestina—mengakui negara Palestina.

Bayi Tak Berdosa pun Menjadi Korban

Berdasarkan aturan pada Pasal 34 ayat (1) Statuta ICJ, maka bisa dipastikan bahwa ICJ akan menolak kasus yang dibawa oleh Israel dan Palestina mengenai konflik mereka itu. Sehingga, ketika penyelesaian hukum ini tidak bisa dilaksanakan, konflik pun akan terus berjalan. Selain permasalahan para pihak yang dapat mengajukan sengketanya di ICJ, masalah yurisdiksi/kewenangan ICJ juga menjadi poin penting mengapa penerapan instrumen ini nantinya akan berakhir dengan kegagalan.

ICJ mendapat kewenangan untuk memutuskan atas sebuah kasus melalui persetujuan dari semua pihak yang bersengketa (Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar, 2008: 233). Jadi, penjelasan ringkasnya, ketika terjadi sengketa antara dua negara namun hanya satu negara yang mengajukan masalahnya itu ke ICJ, maka akan langsung ditolak. Agar bisa diproses di ICJ, kedua pihak yang bertikai itu harus setuju untuk membawa permasalahannya ke ICJ secara bersama-sama. Ketentuan yang secara langsung berkaitan dengan hal ini dapat dilihat pada Pasal 36 ayat (1) Statuta ICJ, yang menyatakan: “The jurisdiction of the Court comprises all cases which the parties refer to it and all matters specially provided for in the Charter of the United Nations or in treaties and conventions in force.” Dari pasal tersebut kita dapat memahami apabila persetujuan dari semua pihak yang bersengketa merupakan sebuah hal yang sangat penting bagi terciptanya yurisdiksi bagi Pengadilan (John O’Brien dalam Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar, 2008: 244). Pada konflik Israel dengan Palestina, ternyata hanya Palestina saja yang mengajukan sengketanya ke ICJ—apalagi Palestina sampai sekarang tidak diakui sebagai negara—sehingga sudah tentu tidak akan diterima oleh ICJ, karena Pengadilan tidak mempunyai yurisdiksi untuk itu.

Selain dengan ICJ, instrumen penyelesaian sengketa internasional secara hukum juga bisa dilakukan melalui ICC. Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) adalah Pengadilan untuk mengadili individu, terdakwa yang diduga telah melakukan kejahatan internasional (Sefriani, 2010: 342). Kejahatan-kejahatan ini adalah terutama yang melanggar hak asasi manusia dan kejahatan berat lainnya. ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998. Namun, sekali lagi, penerapan instrumen hukum penyelesaian sengketa internasional secara yudisial ini pun nantinya kembali akan berujung pahit. Berikut penjelasannya.

Israel, selama berkonflik dengan Palestina dituduh telah melakukan berbagai kejahatan berat dalam lingkup hukum internasional. Dengan berbagai bukti banyaknya korban jiwa dan serangan-serangan dari Israel terhadap warga sipil Palestina yang selalu disiarkan ke publik, kita menjadi yakin bahwa memang Israel telah melakukan suatu tindakan sistematis dan terencana untuk melenyapkan penduduk Palestina. Pelaku yang dianggap paling bertanggung jawab atas tindakan pembantaian dan pengusiran massal rakyat Palestina dari tanah kelahirannya adalah para pemimpin yang memerintahkan tindakan tersebut.

Pemimpin-pemimpin Israel sebagai garda terdepan keluarnya perintah keji terhadap rakyat Palestina itu, adalah merupakan suatu kejahatan perang dan kemanusiaan yang melanggar hak asasi manusia dan sangat berat hukumannya. Tindakan yang dilakukan oleh para pemimpin Israel itu bisa diproses di ICC, karena sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Statuta Roma, bahwa yurisdiksi ICC adalah terbatas pada kejahatan internasional yang paling serius, meliputi: (i) kejahatan genosida (the crime of genocide), (ii) kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes agains humanity), (iii) kejahatan perang (war crimes), dan (iv) kejahatan agresi (the crime of aggression).

Terlepas dari kemampuan ICC untuk menghukum para penjahat perang Israel tersebut, sebagai salah satu metode menghentikan konflik berkepanjangan Israel-Palestina, ada hal prinsipil yang menyebabkan tidak bisanya ICC mengambil alih permasalahan itu, yaitu masalah keterikatan dan eksistensi yurisdiksi ICC.

Negara-negara anggota PBB tidak secara otomatis terikat oleh yurisdiksi ICC tersebut, tetapi melalui suatu pernyataan mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta ICC/Statuta Roma (Boer Mauna, 2003: 263). Kemudian, syarat utama bagi eksisnya yurisdiksi itu oleh Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma dinyatakan dalam hal: (a) kejahatan yang dilakukan terjadi di dalam wilayah negara peserta; atau (b) kewarganegaraan dari si pelaku adalah negara yang menjadi negara peserta atas Statuta (Bruce Broomhall dalam Jawahir Thontowi & Pranoto Iskandar, 2008: 249).

Oleh karena Israel tidak mengikatkan diri atau menjadi negara peserta pada Statuta ICC (Statuta Roma), maka ICC tentunya tidak akan bisa memproses kasus penjahat perang bagi para pemimpin Israel. Ini merupakan mimpi buruk bagi Palestina. Para pemimpin Israel yang seharusnya bisa diadili sebagai penjahat perang, malah terbentur dengan syarat formal pada Statuta. Maka, usaha untuk menghentikan konflik Israel-Palestina melalui Pengadilan penjahat perang pada ICC, menjadi tak berarti.

Tawaran Solusi

Penyelesaian sengketa internasional secara politik melalui mekanisme negosiasi, mediasi maupun konsiliasi yang telah diupayakan oleh berbagai pihak untuk mengakhiri konflik Israel dengan Palestina, ternyata sia-sia belaka. Israel pada dasarnya tidak mau mencari penyelesaian. Ketika Palestina sudah berniat teguh menyudahi pertikaian ini, tidak demikian halnya dengan Israel yang bersikukuh untuk tetap berusaha mendapatkan tanah Palestina secara paksa. Israel pun sebenarnya tidak mempunyai niat menarik diri dari Daerah Pendudukan.

Penduduk Palestina Melawan Tank Israel

Hukum yang seyogyanya menjadi pintu terakhir bagi para pihak dalam menyelesaikan pertikaian, juga tidak berujung manis. Saat masyarakat internasional mengharapkan suatu Pengadilan untuk menjembatani konflik Israel-Palestina sehingga bisa berakhir damai, maka ketika itu pula semuanya tak berfungsi. Tindakan Israel yang sudah jelas-jelas melanggar aturan hukum internasional dan keinginan penduduk Palestina untuk terbebas dari cengkeraman Zionisme Israel, seharusnya bisa diselesaikan melalui Pengadilan internasional, baik itu melalui ICJ maupun ICC.

Seperti sudah dijelaskan di muka, bahwa ICJ dan ICC memang tidak bisa untuk memproses apalagi mengakhiri sengketa antara Israel dengan Palestina. Secara legal-formal, kedua Pengadilan dengan yurisdiksi berbeda ini harus tunduk pada aturan Statutanya. Sehingga bagaimanapun juga, konflik timur tengah Israel-Palestina ini sulit untuk dipecahkan. Ternyata, memang ada aturan positivistik yang sulit ditembus—selain karena egoisme Israel—yang menyebabkan konflik Israel-Palestina tak kunjung reda sampai sekarang. Jadi, dapat ditarik benang merah jika penerapan instrumen hukum penyelesaian sengketa internasional baik itu secara politik maupun secara yudisial, tidak berguna untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina.

Oleh karena itu, solusi yang diperlukan untuk mengakhiri konflik adalah penjatuhan sanksi hukum internasional yang luas. Ini bisa dilakukan melalui sebuah kebijakan embargo bagi Israel. Selain itu, kebijakan mengasingkan Israel dari pergaulan internasional pun patut diterapkan.

Dengan embargo ekonomi, Israel secara otomatis akan merasakan akibatnya. Pendapatan menjadi semakin terkikis dan bukan tidak mungkin Israel tidak akan bisa lagi menghimpun kekuatannya untuk menggempur Palestina, karena bagian vital suatu negara, yaitu eknomoi telah diserang melalui kebijakan embargo.

Pengasingan Israel dari pergaulan internasional dengan cara pemutusan hubungan diplomatik, harus dilakukan. Melalui mekanisme tersebut, Israel tidak akan mendapat sokongan bantuan baik materiil maupun immateriil, sehingga bisa dipastikan kekuatan Israel dalam segala hal akan tumpul. Maka, dengan kondisi yang lemah, Israel akan sulit untuk terus melancarkan serangan ke Palestina. Selain itu, tanpa didukung oleh negara lain, Israel nantinya diharapkan akan menjadi sadar dan tidak egois terhadap segala bentuk usaha penyelesaian konflik dengan Palestina.

Namun, usaha embargo dan pemutusan hubungan diplomatik maupun pengasingan akan terwujud apabila mendapat dukungan dari seluruh masyarakat internasional. Harus ada political will dari setiap negara untuk menyelesaikan dan mengakhiri konflik Israel-Palestina ini. Diperlukan kerja sama yang solid demi terciptanya kehidupan dunia internasional yang damai dan rukun.

Daftar Pustaka

Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar. 2008. Hukum Internasional Kontemporer. Bandung: Refika Aditama .

Sefriani. 2010. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni .

Musthafa Abd Rahman. 2002. Dilema Israel, Antara Krisis Politik dan Perdamaian. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Rome Statute of the International Criminal Court dalam “http://www.icc-cpi.int/Menus/ICC/Legal+Texts+and+Tools/Official+Journal/Rome+Statute.htm” , diakses 12 Juni 2011.

Gatot Abdullah Masyur. Palestina Pasca Yasser Arafat: Peranan Diplomasi Republik Indonesia. Makalah dalam “Pertemuan Kelompok Ahli tentang Kebijakan Politik Luar Negeri RI di Kawasan Timur Tengah”. Hotel Novotel Solo. 15-16 Februari 2005.

5 thoughts on “Tidak Bergunanya Penerapan Instrumen Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional Terhadap Konflik Israel-Palestina

Leave a comment